Monday, February 14, 2011

Gamelan dalam Artefak Budaya

Oleh Tim Wacana Nusantara

Bagi masyarakat Indonesia, di Pulau Jawa khususnya, gamelan bukanlah sesuatu yang asing dalam kehidupan. Mereka—orang Jawa maupun Sunda—tahu mana yang disebut gamelan atau seperangkat gamelan, sekali pun orang bersangkutan tak bisa memainkannya. Mereka mengenal istilah gamelan, karawitan, atau gangsa. Akan tetapi, barangkali masih banyak yang belum mengetahui bagaimana sejarah perkembangan gamelan itu sendiri, sejak kapan gamelan mulai ada di Jawa.

Sarjana berkebangsaan Belanda, Dr. J.L.A. Brandes, mengatakan bahwa jauh sebelum datang pengaruh budaya India, bangsa Jawa telah rnemiliki keterampilan budaya atau pengetahuan yang mencakup 10 butir (Brandes, 1889), yakni:
1. wayang,
2. gamelan,
3. ilmu irama sanjak,
4. batik,
5. pengerjaan logam,
6. sistem mata uang sendiri,
7. ilmu teknologi pelayaran,
8. astronomi,
9. pertanian sawah,
10. birokrasi pemerintahan yang teratur.

Dengan begitu, bila pendapat Brandes tak keliru, kesepuluh butir keterampilan budaya tersebut bukan dari pemberian bangsa India. Ini benar berarti keberadaan gamelan dan wayang sudah ada sejak jaman prasejarah—meski tahun yang tepat sulit diketahui karena masyarakatnya belum mengenal sistem tulisan. Tidak ada bukti tertulis yang dapat dipakai untuk melacak gamelan pada masa prasejarah.

Gamelan merupakan produk budaya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kesenian; dan kesenian merupakan salah satu unsur budaya yang bersifat universal. Ini berarti bahwa setiap bangsa dipastikan memiliki kesenian, meski wujudnya berbeda antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Apabila antarbangsa terjadi kontak budaya, keseniannya pun ikut bersinggungan, sehingga dapat terjadi satu bangsa menyerap bila unsur seni dari bangsa lain disesuaikan dengan kondisi setempat. Oleh karena itu, sejak keberadaannya, gamelan sampai sekarang telah mengalami perubahan dan perkembangan, khususnya dalam kelengkapan ansambelnya.

Istilah “karawitan” yang merujuk pada kesenian gamelan, banyak dipakai oleh kalangan masyarakat Jawa. Istilah tersebut mengalami perkembangan dalam hal penggunaan maupun pemaknaannya. Banyak orang memaknai “karawitan” berangkat dari kata dasar “rawit” yang berarti kecil, halus, atau rumit. Konon, di lingkungan keraton Surakarta, istilah karawitan pernah juga digunakan sebagai payung dari beberapa cabang kesenian, seperti tatah sungging, ukir, tari, hingga pedhalangan (Supanggah, 2002: 5-6).

Dalam pengertian yang sempit, istilah karawitan dipakai untuk menyebut suatu jenis seni suara atau musik yang mengandung salah satu atau kedua unsur berikut ini (Supanggah, 2002: 12): menggunakan alat musik gamelan—sebagian atau seluruhnya baik berlaras slendro atau pelog—sebagian atau semuanya; menggunakan laras (tangga nada) slendro dan/atau pelog, baik instrumental gamelan atau nongamelan maupun vokal atau campuran dari keduanya.

Gamelan Jawa sekarang ini bukan dikenal di Indonesia saja, bahkan telah berkembang di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Canada. Karawitan telah mendunia. Maka itu, cukup ironis apabila bangsa Jawa sebagai pewaris langsung malah tidak peduli terhadap seni ini. Bangsa lain malah sangat apresiatif dan tekun mempelajari gamelan, “mengalahkan” masyarakat pribumi sebagai ahli waris karya agung nenek moyang ini.

Sumber Data tentang Gamelan
Kebudayaan Jawa dan Nusantara umumnya, mulai memasuki zaman sejarah, ditandai dengan adanya sistem tulisan. Selama kurun waktu antara abad VIll sampai abad XV Masehi, kebudayaan Jawa mendapat pengayaan unsur-unsur kebudayaan India. Unsur-unsur budaya India, salah satunya, dapat dilihat pada kesenian gamelan dan seni tari, melalui transformasi budaya Hindu-Buddha.

Data-data tentang keberadaan gamelan ditemukan pada sumber verbal, yakni sumber tertulis berupa prasasti dan kitab-kitab kesusastraan yang berasal dari masa Hindu-Buddha. Pun, sumber ini berupa sumber piktorial, seperti relief yang dipahatkan pada bangunan candi, baik candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Tengah (abad ke-7 hingga ke-10) dan candi-candi yang berasal dari masa klasik Jawa Timur yang lebih muda (abad ke-11 sampai ke-15) (Haryono, 1985). Dalam sumber-sumber tertulis masa Jawa Timur, kelompok ansambel gamelan dikatakan sebagai “tabeh-tabehan” (dalam bahasa Jawa Baru “tabuh-tabuhan” atau “tetabuhan”, berarti segala sesuatu yang ditabuh atau dibunyikan dengan dipukul).

Zoetmulder menjelaskan kata “gamèl” dengan alat musik perkusif, yakni alat musik yang dipukul (1982). Dalam bahasa Jawa, ada kata “gèmbèl” yang berarti alat pemukul. Dalam bahasa Bali, ada istilah “gambèlan” yang kemudian mungkin menjadi istilah gamelan. Istilah gamelan telah disebut dalam kaitannya dengan musik. Pada masa Kadiri (abad ke-13 M), seorang ahli musik Judith Becker mengatakan bahwa kata gamelan berasal dari nama seorang pendeta Burma yang seorang ahli besi bernama Gumlao. Kalau pendapat Becker ini benar adanya, tentunya istilah gamelan dijumpai juga di Burma atau di beberapa daerah di Asia Tenggara daratan; namun ternyata tidak.

Gambaran Instrumen Gamelan pada Relief Candi
Pada beberapa bagian dinding Candi Borobudur dapat dilihat jenis-jenis instrumen gamelan yaitu: kendang bertali yang dikalungkan di leher, kendang berbentuk seperti periuk, siter dan kecapi, simbal, suling, saron, gambang. Pada Candi Lara Jonggrang (Prambanan) dapat dilihat gambar relief kendang silindris, kendang cembung, kendang bentuk periuk, simbal (kècèr), dan suling.

Gambar relief instrumen gamelan di candi-candi masa Jawa Timur dapat dijumpai pada Candi Jago (abad ke -13 M) berupa alat musik petik: kecapi berleher panjang dan celempung. Sedangkan pada candi Ngrimbi (abad ke - 13 M) ada relief reyong (dua buah bonang pencon). Sementara itu, relief gong besar dijumpai di Candi Kedaton (abad ke-14 M), dan kendang silindris di Candi Tegawangi (abad ke-14 M). Pada candi induk Panataran (abad ke-14 M) ada relief gong, bendhe, kemanak, kendang sejenis tambur; dan di pandapa teras terdapat relief gambang, reyong, serta simbal. Pada Candi Sukuh (abad ke-15 M) terukir relief bendhe dan terompet.

Berdasarkan data-data pada relief dan kitab-kitab kesusastraan diperoleh petunjuk, bahwa paling tidak ada pengaruh India terhadap keberadaan beberapa jenis gamelan Jawa. Keberadaan musik di India sangat erat dengan aktivitas keagamaan. Musik merupakan salah satu unsur penting dalam upacara keagamaan (Koentjaraningrat, 1985: 42-45). Di dalam beberapa kitab-kitab kesastraan India seperti Natya Sastra, seni musik dan seni tari berfungsi untuk aktivitas upacara. keagamaan (Vatsyayan, 1968). Secara keseluruhan, kelompok musik di India disebut “vaditra” yang dikelompokkan menjadi lima kelas, yakni:
1. tata (instrumen musik gesek),
2. begat (instrumen musik petik),
3. sushira (instrumen musik tiup),
4. dhola (kendang),
5. ghana (instrumen musik pukul).

Pengelompokan yang lain adalah:
1. avanaddha vadya, bunyi yang dihasilkan oleh getaran selaput kulit karena dipukul;
2. ghana vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran alat musik itu sendiri;
3. sushira vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran udara dengan ditiup;
4. tata vadya, bunyi dihasilkan oleh getaran dawai yang dipetik atau digesek.

Klasifikasi tersebut dapat disamakan dengan membranofon (Avanaddha vadya), ideofon (ghana vadya), aerofon (sushira vadya), kordofon (tata vadya). Irama musik di India disebut “laya”, dibakukan dengan menggunakan pola “tala” yang dilakukan dengan kendang. Irama tersebut dikelompokkan menjadi: druta (cepat), madhya (sedang), dan vilambita (lamban).

KLASIFIKASI INSTRUMEN GAMELAN
1. Kelompok Membranofon (Avanaddha Vadya)
Kelompok membranofon adalah instrumen gamelan, yang sumber bunyi ada pada selaput kulit atau bahan lainnya. Di dalam gamelan Jawa, kelompok ini adalah jenis kendang. Dalam beberapa prasasti diperoleh bukti bahwa instrumen kelompok membranofon telah populer di Jawa sejak pertengahan abad ke-9 Masehi dengan nama: padahi, pataha (padaha), murawa atau muraba, mrdangga, mrdala, muraja, panawa, kahala, damaru, kendang.

Istilah “padahi” tertua dapat dijumpai pada Prasasti Kuburan Candi yang berangka tahun 821 Masehi (Goris, 1930). Istilah tersebut terus dipergunakan sampai era Majapahit sebagaimana dapat dibaca pada Nagarakretagama gubahan Mpu Prapanca tahun 1365 Masehi (Pigeaud, 1960). Bukan tidak mungkin bahwa instrumen musik jenis membranofon merupakan jenis instrumen gamelan yang telah ada sebelum adanya kontak budaya dengan India, yang digunakan pada acara-acara ritual. Hal ini dapat dibandingkan dengan alat-alat musik yang dimiliki suku primitif yang pada umumnya dari kelompok membranofon. Pada zaman kebudayaan logam prasejarah (kebudayaan perunggu) di Indonesia, telah dikenal adanya jenis moko, nekara. Nekara pada zamannya berfungsi sebagai semacam genderang. Penulis tidak sependapat bahwa nekara dalarn perkembangannya kemudian menjadi gong.

Di India, instrumen jenis kendang disebut dengan berbagai nama seperti: dundubhi, pataha, mridangga, panava, murawa, mrdala; dan telah dikenal sejak masa Weda. Jenis dundubhi disebutkan sebagai “kendang yang jika dipukul dapat mengalahkan musuh” (Vatsyayan, 1968:175). Di India, kendang memainkan peran penting dalam upacara dan mengiringi pertunjukan tari sebagaimana disebutkan dalam Natya Sastra. Mridangga termasuk sebagai jenis kendang yang utama. Murawa (muraba), mrdala, mrdangga (mridangga) barangkali berasal dari akar kata yang sama yakni "mrd" yang berarti tanah.

Dalam mitologi disebutkan bahwa mrdangga atau mrdala diciptakan oleh Dewa Brahma untuk mengiringi tarian Dewa Siwa ketika berhasil mengalahkan raksasa Trusurapura (Popley, 1950:123; Haryono, 1986). Dalam kitab Natya Sastra dijumpai istilah bheri, bhambha, dindimas, yang mungkin juga masih termasuk kelompok instrumen kendang. Istilah bheri di Jawa sekarang menjadi kelompok ideofon yang disejajarkan dengan bendhe.

Dalam beberapa kitab sastra Jawa kuno penyebutan bheri berdekatan dengan kata mrdangga, seperti dalam kitab Wirataparwa: "... prasamanggwal bheri mrdangga, ajimur arok silih-wor ikang prang ..." (sama-sama memikul bheri mrdangga, bercampur saling berbaur mereka yang berperang); "... humung tang bheri murawa ..." (Huh suara bheri dan murawa).

Dalam kitab Ramayana (abad X Masehi) disebutkan: "... tinabih ikang bahiri ring taman ..." (bheri ditabuh di taman). Keterangan tersebut memberi kesan bahwa bahiri atau bheri masih dalam kelompok membranofon. Berdasarkan data-data pada kitab-kitab sastra, mrdala atau murawa merupakan instrumen yang sangat penting yang dikombinasikan dengan alat musik yang lain seperti sangkhakala, vina, baribit.

Penyebutan dengan berbagai nama, menunjukkan adanya berbagai bentuk kendang dan bahan. Dalam seni arca, kendang kecil yang dipegang oleh dewa disebut damaru. Pada relief Candi Borobudur (awal abad ke-9 M) dan Candi Siwa di Prambanan (pertengahan abad ke-9 M) dilukiskan bermacam-macam bentuk kendang (Haryono, 1985; 1986). Ada kendang bentuk silindris langsing, bentuk tong asimetris, bentuk kerucut.

Pada pagar langkan Candi Siwa, kendang ditempatkan di bawah perut dengan semacam tali. Pada candi-candi yang lebih muda dari abad ke-14, relief kendang dapat dilihat di candi-candi masa klasik muda (periode Jawa Timur), seperti Candi Tegawangi dan Candi Panataran. Di Candi Tegawangi juga dijumpai relief seseorang yang membawa kendang bentuk silindris dengan tali yang dikalungkan pada kedua bahu. Di Candi Panataran, relief kendang digambarkan hanya berselaput satu sisi dan ditabuh dengan menggunakan pemukul berujung bulat.

Jaap Kunst (1968:35-36) menyebut instrumen musik ini “dogdog”. Adanya kesamaan penyebutan kendang dalarn sumber tertulis Jawa Kuna dengan sumber tertulis di India membuktikan bahwa kontak budaya antara keduanya mencakup pula dalam bidang seni pertunjukan. Namun tidak berarti bahwa kendang Jawa merupakan pengaruh kendang India.

Berdasarkan akar kata mrd, maka kata mredangga dalam prasasti mungkin sekali adalah kendang yang dibuat dari tanah liat. Dalam perkembangan kemudian di Jawa, kata mredangga menjadi pradangga dalam bahasa Jawa Baru, yang berarti penabuh gamelan atau niyaga. Perubahan seperti ini terdapat juga pada kata kamsa atau kangsa yang berarti perunggu, yang kemudian di Jawa berubah menjadi gangsa yang berarti gamelan. Oleh karena itu, pendapat yang mengatakan bahwa kata gangsan berasal dari kata gasa sebagai kata singkatan (akronim) dari kata tiga + sedasa atau tembaga + rejasa, tidak berdasarkan pada hasil penelitian yang valid (Haryono, 2002; 2004:48).

Penelitian metalurgis perunggu atas dasar komposisi unsur bahan, juga tidak membuktikan adanya komposisi tiga berbanding sedasa (3:10). Hasil penelitian komposisi unsur pada gamelan buatan dari Papringan (Yogyakarta) = Cu 52,87% : Sn 34,82% : Zn 12,55% ; dari Bekonang (Surakarta) = Cu 48,80% : Sn 39,88% : Zn 10,86%; dan dari Kauman (Magetan) = Cu 51,00% : Sn 40,26% : Zn 8,39%. Cu adalah tembaga, Sn untuk timah putih, dan Zn untuk seng. Jelaslah bahwa komposisi tersebut tidak menggambarkan perbandingan 3 (tiga) : 10 (sedasa) seperti pendapat pada umumnya (Haryono, 2004:51-52).

Istilah gangsa yang berarti gamelan sudah digunakan pada abad ke-12 Masehi seperti dijumpai dalam kitab Smaradahana (pupuh XXIX:8): "ginding daityaddhipati ya ta tinabih kendang, gong, gangsa, gubar asahuran...” artinya gending dari Sang Raja Raksasa dibunyikan, kendang, gong, gangsa, dan gubar bersahut-sahutan (Poerbatjaraka, 1951; Sedyawati, 1985:236). Dalam gamelan sekarang yang disebut gambang gangsa adalah jenis gambang yang dibuat dari bahan logam (perunggu atau kuningan).

Jenis instrumen membranofon lainnya adalah “bedug” dan “trebang”. Istilah bedug dijumpai pada kitab yang lebih muda yakni Kidung Malat. Dalam Kakawin Hariwangsa, Ghatotkacasraya, dan Kidung Harsawijaya, instrumen sejenis disebut “tipakan”. Selain itu, ada istilah “tabang-tabang” dalam kitab Ghatotkacasraya dan kitab Sumanasantaka, yang mungkin kemudian berkembang menjadi istilah “tribang”. Kutipan teks berikut: "ginding sri saha damya-damyan anameni kidung miring ing tabang tabang" (Gatotkacasraya, 37:7); "tabang-tabang ramya karingwangsulan". Jika ini benar, berarti apa yang kita sebut trebang maupun bedhug bukan instrumen musik yang munculnya setelah datangnya kebudayaan Islam melainkan telah ada sejak abad ke-12 M (Zoetmulder, 1983: 317-395).

2. Kelompok Ideofon (Ghana Vadhya)
Instrumen musik kelompok ini adalah jenis instrumen musik yang sumber bunyinya berasal dari “badan” alat musik itu sendiri; dan oleh para ahli musik digolongkan sebagai alat musik yang tertua jika dibandingkan dengan jenis yang lain (Ferdinandus, 1999). Beberapa di antara instrumen musik jenis ini yang dapat dijumpai dalam prasasti dan kitab sastra, yaitu tuwung, kangsi, rigang, curing, rojeh, brikuk, bungkuk, kamanak, gambang, calung, salunding, barung, ganding, dan gong.

Prasasti-prasasti masa Jawa Tengah (abad ke-9 Masehi) banyak menyebut istilah “curing”, “regang”, “tuwung”, “brikuk”. Curing dan tuwung merupakan jenis simbal. Curing barangkali sejenis simbal yang dibuat dari logam. Dalam Prasasti Kuti tahun 762 Saka (840 M) disebutkan: "Mangkana yan pamuja mangungkunga curing..." (adapun jika mengadakan pemujaan, supaya menabuh curing). Kata “mangungkunga” dalam bahasa Jawa Baru sekarang masih dapat dijumpai sebagai tiruan bunyi gamelan “ngungkung”. Jenis instrumen gamelan curing ini sangat populer pada masa Jawa Kuna; terbukti banyak disebutkan dalam Prasasti Penetapan Sima (abad ke-9 hingga ke-12 M). Dari prasasti tersebut dapat disimpulkan bahwa perlengkapan gamelan dibunyikan dalam konteks ritual (upacara pemujaan).

Menurut Jaap Kunst (1968:52), curing dan tuwung adalah alat musik yang sama sejenis kicer. Nama celuring sekarang ada pada gamelan di keraton Yogyakarta dan Pura Pakualaman. Mungkin celuring berasal dari kata curing yang mendapat sisipan “el” untuk menyatakan kata jamak. Bila demikian maka gambaran bentuk curing pada masa Jawa Kuna sama seperti celuring sekarang. Sementara itu, di beberapa kitab sastra disebutkan jenis instrumen gamelan “rojeh” seperti dalam kitab Hariwangsa, Kresnayana, Sumanasantaka, Siwaratrikalpa, dan Kidung Harsawijaya. Instrumen gamelan ini ditafsirkan sejenis simbal. Demikian pula istilah “baribit” disebut sebagai nama jenis instrumen gamelan dalam Ramayana.

Nama “brikuk” sebagai nama instrumen gamelan dijumpai dalam Prasasti Panggumulan tahun 902 M dan pada Prasasti Lintakan 919 M. Sedangkan dalam Prasasti Paradah tahun 943 M dijumpai istilah “bungkuk”. Dalam gamelan sekarang ini ada nama “ketuk”. Istilah ketuk telah ada pada zaman Kadiri sebagaimana disebut dalam Hariwangsa karya Mpu Panuluh. Dalam kitab tersebut diceritakan suasana keindahan alam ketika Rukmini dan Kresna dalam sebuah perjalanan yang diibaratkan sebagai pertunjukan wayang, diiringi gamelan: salunding, kituk, dan talutak.

Uraian tersebut sekaligus menggambarkan bahwa pertunjukan wayang abad ke-12 diiringi ansambel gamelan yang masih sederhana. Mungkinkah brikuk dan bungkuk adalah instrumen pencon seperti ketuk dan kenong sekarang? Menurut J. Kunst (1968:63), baik brikuk maupun bungkuk adalah penyebutan yang sama untuk satu jenis instrumen. Mungkin sekali brikuk, bungkuk, dan kituk adalah bentuk instumen gamelan yang sejenis. Bentuk instrumen gamelan pencu dipahatkan pada candi-candi masa Jawa Timur abad ke-14 Masehi dan sesudahnya seperti Candi Panataran, Candi Sukuh, dan Candi Ngrimbi.

Relief instrumen gamelan berpencu di Panataran maupun Candi Ngrimbi barangkali dapat dinamakan “reyong”. Instrumen ini dibunyikan dengan tongkat pendek dipegang dengan lengan kanan dan kiri. Susunannya yang banyak dalam satu rancak kemudian menjadi “bonang”. Kalau susunannya sedikit, masing-masing dalam satu rancak dinamakan “kenong”. Dalam sumber tertulis, istilah reyong dijumpai dalam Pararaton. Dalam sumber tertulis yang lebih tua, yakni Prasasti Polengan I, tahun 870 Masehi disebut istilah “makajar” yang berarti pemain kajar. Kajar adalah sejenis instrumen musik pencu.

Gong adalah jenis instrumen gamelan yang sangat penting pula. Dalam bentuk relief, sumber tertua dapat dilihat pada relief cerita Arjunawiwaha di Gua Selamangleng, Tulungagung, dari abad ke-11 M (Bernet Kempers, 1959: 87). Kemudian digambarkan pada relief cerita Bhomantaka di Candi Kedaton, dan relief Ramayana di Candi Panataran (abad ke-14 M). Hal ini tidak berarti bahwa gong belum dikenal sebelum abad ke-11.

Dalam Ramayana Jawa Kuna yang berasal dari abad ke-9 Masehi telah disebut-sebut “gong” (Poerbatjaraka, 1926: 265-272). Dalam berita Cina dari dinasti Tang (618-906 M) disebutkan bahwa “jika raja Poli keluar kota, ia mengendarai kereta yang ditarik oleh gajah dan diiringi musik yang terdiri dari gong, kendang, dan terompet” (Haryono, 2001). Tampaknya instrumen gamelan tersebut sampai sekarang tetap bernama gong pada abad ke-9 Masehi sebagai instrumen gamelan yang penggunaannya terbatas di keraton, sehingga oleh Kunst dikatakan sebagai “royal instrument” (Kunst, 1968:66). Lagi pula, ditinjau dari teknik pembuatan, gong memerlukan teknik lebih rumit dan bahan yang lebih mahal sehingga tidak setiap kelompok masyarakat dapat memiliki.

Istilah gong dalam hal ini digunakan untuk menyebut gong ukuran besar (gong gedhe); sedangkan untuk ukuran yang lebih kecil mungkin ada istilah lain seperti: gubar, bendhe, bheri. Istilah gong juga dipakai untuk mewakili seluruh ansambel gamelan. Masyarakat Jawa mengatakan bahwa kalau punya hajatan akan nggantung gong berarti akan menyelenggarakan klenengan.

Dalam kitab Bharatayuddha disebutkan gending, gong, dan gubar dalam satu kelompok. Sangat menarik bahwa dalam Kidung Wangbang Wideya (dari masa Kadiri) yang berisi cerita Panji disebutkan jenis gong dengan istilah “gong Bentar Kadatwan”, bersama-sama dengan gamelan yang lain yakni curing dan gong, yang dibunyikan untuk mengiringi pertunjukan wayang (Robson, 1977). Adapun “gubar” ditafsirkan sebagai sejenis gong ukuran sedang. Dalam Bharatayuddha, gubar disebut bersama-sama dengan sangkha dan saragi, dibunyikan oleh prajurit dalam peperangan. Dalam konteks “gubar saragi”, berarti istilah saragi dapat juga berarti sejenis gong. Di Ternate kata saragi berarti gong (Haryono, 2001:107).

Gambang disebutkan dalam sumber tertulis Kitab Malat, dan menurut berita Cina masa Dinasti Song (966-1279 M), dikatakan bahwa pada masa pemerintahan Raja Jayabhaya dari Kadiri masyarakat Jawa telah dapat bermain seruling, kendang, dan xylophone (gambang) dari kayu (Groeneveldt, 1960:17). Dalam sumber-sumber tertulis yang lain seperti kitab Sumanasantaka, Prasasti Buwahan abad ke-11 M, Prasasti Pura Kehen (abad ke-12 M) disebut istilah “calung” dan istilah “galunggang” dan “garantung” dalam sumber yang lain. Istilah “gender” mulai disebut pada zaman Kadiri yakni dalam Kidung Wangbang Wideya yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang bersama dengan ridip dan gong. Instrumen gamelan yang terdiri atas bilah-bilah (wilahan) yang dirangkai telah ada pada masa Candi Borobudur. Relief seperti tersebut juga dapat dilihat pada candi yang lebih muda yakni Candi Panataran. Bila gambang sudah dikenal, seharusnya jenis saron juga sudah dikenal.

Barangkali relief yang dipahatkan pada Candi Borobudur menggambarkan saron, bukan gambang. Istilah “saron” baru ditemukan dalarn sumber tertulis setelah abad ke-15 M (kitab Arjunapralabda). Dalam sumber tertulis, ada istilah “barung” yang ditafsirkan sebagai saron (Juynboll, 1923:401). Dalam kitab Bharatayuddha, Gahtotkacasraya, dan Hariwangsa serta beberapa prasasti Bali kuno abad ke 12 Masehi dijumpai istilah “salunding”. Gamelan salunding sampai sekarang masih dapat dijumpai di Bali.

Instrumen gamelan berikutnya yang cukup tua keberadaannya adalah “kemanak”. Dalam kakawin Bharatayuddha, kitab Calon Arang, disebutkan kamanak bersama-sama dengan kangsi. Bahkan dalam kitab Calon Arang dikatakan bahwa kamanak dan kangsi dipakai untuk mengiringi tarian sakral yang dilakukan oleh Calon Arang dan murid-muridnya.

3. Kelompok Aerofon (Sushira Vadya)
Jenis instrumen yang termasuk kelompok ini adalah gamelan yang sumber bunyinya adalah udara yang ditiup. Pada ansambel gamelan Jawa sekarang, seruling merupakan kelengkapan dalam gamelan klenengan atau uyon-uyon. Dalam kitab Natya Sastra, seruling (suling) disebut dengan istilah “vamsa” yang artinya bambu dan dibunyikan bersama-sama dengan “vino” (wina). Bukti piktorial keberadaan suling pada masa Jawa kuno dapat dilihat pada relief Candi Borobudur pada relief Karmawibhangga, relief Jataka, dan Lalitawistara, dan terdapat juga pada relief di Candi Jago dan Candi Panataran.

Berdasarkan data relief tersebut dapat dibedakan dua macam seruling, yaitu seruling melintang (suling miring) dan seruling membujur (vertikal). Dalam sumber tertulis, seruling disebut dalam kitab Ramayana Jawa Kuna dengan istilah “bangsi” dan dibunyikan bersama-sama dengan instrumen rawandsta. Kata bangsi atau wangsi sangat boleh jadi berasal dari kata yang sama Sanskerta “vamsa”. Dalam kitab yang lebih muda yakni Writtasancaya karya Mpu Tanakung seruling disebut “suling”. Kitab Ramayana Jawa Kuna juga menyebutkan istilah suling. Demikian pula di Bali, dalam prasasti Batur Pura Abang A tahun 1011 Masehi disebut suling. Ini berarti bahwa sejak abad ke-11 suling telah masuk dalam kelengkapan gamelan.

Selain seruling dalam sumber tertulis maupun relief ada alat musik tiup, yakni terompet yang disebut “sangkha”. Sangkha adalah kerang laut dan sebagai alat musik tiup telah lama digunakan di India. Dalam ikonografi Hindu, sangkha merupakan atribut Dewa Wisnu, Kresna. Dalam relief Ramayana di Candi Brahma (Prambanan), sangkha ditiup untuk membangunkan Kumbakarna (adik Rahwana) yang tidur. Dalam Nagarakretagama disebutkan “gumang kahala sangka lan padaha ganjuran....” (gemuruh suara kahala sangka dan kendang, ganjuran) (pupuh 65:1). Dalam Ramayana, sangka disebut dengan “kalasangkha”; dan dalam kitab Wirataparwa disebut “sangkhakahala” (Kunst, 1968). Istilah “kahala sangka” dan “sangkha kahala” sekarang menjadi “sangkakala”; sedangkan “ganjuran” sebagai instrumen gamelan barangkali sejenis genderang (?). Istilah gamelan Kala Ganjur sekarang ini berasal dari kata “kahala” dan “ganjur”, istilah yang telah ada sejak zaman Majapahit. Jenis terompet yang lain adalah “pereret” sebagaimana disebut dalam Kidung Rangga Lawe.

4. Kelompok Kordofon (Tata Vadya)
Instrumen gamelan yang termasuk dalam kelompok ini pada gamelan Jawa sekarang disebut dengan istilah siter, celempung, dan rebab. Istilah “celempung” pertama kali dijumpai dalam sumber tertulis Hikayat Cekelwanengpati. Pada relief di Candi Jago dilukiskan gambar seseorang yang sedang memainkan celempung. Dalam Kidung Wangbang Wideya disebut instrumen gamelan “samepa” dan gamelan ini ditafsirkan sebagai “rebab” (Kunst, 1968). Sementara itu “kachapi” disebutkan dalam Kidung Hausa Wijaya bersama-sama dengan gamelan lainnya yakni: gong, ridip, dan ginding.

Prasasti-prasasti Jawa Kuna menyebutkan istilah “wina”, “rawanahasta”, dan “panday rawanahasta”. Kata rawanahasta berarti “tangan rawana” dan “panday rawanahasta” berarti “tukang membuat rawanahasta”. Rawanahasta ditafsirkan sebagai instrumen gamelan berdawal sejenis lute yang berbentuk seperti tangan (Kunst, 1968; Sarkar, 1972). Kitab Ramayana Jawa Kuna menyebutkan: “makinara” dan “malawuwina”. Lawuwina artinya wina yang berbentuk seperti buah labu. Harpa tampaknya telah digunakan pada masa lampau seperti terlihat pada relief di Candi Borobudur dan di pemandian Jalatunda (Jawa Timur). Demikian pula ada beberapa arca logam yang yang ditemukan di Nganjuk dan Suracala (Yogyakarta) yang menggambarkan dewi memegang alat musik petik.

Disarikan dari tulisan Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc. (K.R.A. Haryono Hadiningrat), budayawan Jawa, Guru Besar dalam Ilmu Arkeologi pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Anggota Dewan Pakar Lembaga Studi Jawa Sekar Jagad; dimuat di Majalah Sasmita edisi I tahun 2007

Sumber Tulisan:
http://www.wacananusantara.org/2/313/gamelan-dalam-artefak-budaya

No comments:

Post a Comment

www.paid-to-promote.net

Get paid To Promote at any Location