Manado - Denting kulintang sayup-sayup mengiringi belaian sejuknya udara di lereng Gunung Soputan, Minahasa, 60 kilometer barat Kota Manado, Sulawesi Utara. Hari itu pertengahan Juli 2008, di atas bukit, puluhan penari meliuk-liuk di altar terbuka berlantai papan kayu diiringi musik kulintang dan tabuhan tambur.
Pasukan kebesaran berkostum merah menyala menjaga prosesi adat dengan tombak dan pedang terhunus. Prajurit adat itu mengenakan topi berhias bulu burung manguni (burung hantu), elang, dan rangkong. Replika paruh burung dipasang di ujung depan topi.
Di bukit itu, berkumpul sembilan subetnis Minahasa, yaitu Tonsamang, Ponosakan, Tonsea, Bantik, Tontemboan, Tombulu, Pasan, Ratahan, dan Tolour. Mereka sedang merunut jejak leluhur melalui akar budaya Minahasa yang terus meredup menuju kegelapan sejarah.
Keturunan To`ar dan Lumimu`ut itu menyambangi leluhur mereka yang spiritnya terpahat di tubuh Watu Pinawetengan di Desa Pinabetengan, Kecamatan Tompaso, Minahasa, Sulut. Mereka merunut jejak leluhur yang melakukan maesaan, berjanji setia untuk bersatu dalam perbedaan.
Prosesi adat itu menampilkan seni budaya Minahasa yang sudah lama menghilang dari kehidupan masyarakat. Sejumlah lirik lagu hanya dikuasai maknanya oleh sang pelantun yang sudah uzur. Remah-remah sejarah Minahasa dikumpulkan lagi di Watu Pinawetengan yang menjadi cikal bakal masyarakat Minahasa.
”Ini sebuah proses menelusuri jejak leluhur untuk menemukan nilai-nilai luhur yang menjadi pegangan hidup dan identitas masyarakat Minahasa,” ujar Jessy Wenas, budayawan Minahasa.
Upacara adat yang digagas secara swadaya oleh masyarakat, seniman, dan budayawan asal Minahasa ini bukan sekadar atraksi budaya untuk menyedot wisatawan. Mereka berusaha mengumpulkan seni budaya yang lama tenggelam dan mendokumentasikannya. Potongan-potongan budaya lisan ditulis dan dirangkai menjadi rangkaian sejarah Minahasa.
Tim pelaksana pesta adat Watu Pinawetengan dan Watu Tumotowa ini mencari sumber-sumber informasi hingga ke pelosok Minahasa. Mereka mengumpulkan cabang-cabang kesenian yang masih tersisa untuk dimunculkan kembali. Pesta adat yang digelar untuk kedua kalinya ini selalu menampilkan temuan baru dari penelusuran jejak peradaban.
Mereka ingin tampil beda dengan menjadikan atraksi budaya sebagai identitas kultural sekaligus ikon wisata. Ini kritik terhadap Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara yang memanfaatkan kekayaan budaya sebagai alat jualan pariwisata, tetapi tidak memupuk tumbuhnya kantong-kantong kebudayaan.
”Budaya dihidupkan bukan sekadar untuk dikomersilkan, tetapi harus dibumikan supaya masyarakat ikut menikmati hasilnya dan bersedia melestarikannya,” ujar Eric MF Dajoh, seniman asal Minahasa.
Eric menilai Sulut punya segudang atraksi budaya dan ditampilkan dalam sejumlah festival budaya. Namun, belum ada yang menjadi gerakan kultural masyarakat hingga event budaya itu lebih gereget dan jauh dari kesan dibuat-buat. Aura kebudayaan seharusnya muncul dalam kerangka besar Sulut sebagai daerah tujuan wisata dunia.
Aura yang dimaksud Eric mungkin seperti memasukkan musik kulintang ke dalam ruang Bandara Sam Ratulangi yang hambar itu. Tamu yang datang dituntun memasuki detak kebudayaan Sulut melalui bunyi-bunyian tradisional. Bisa juga menata transportasi taksi yang lebih mencitrakan kota wisata. Sebagai daerah tujuan wisata dunia, tak elok jika taksi di Manado masih harus tawar-menawar tanpa patokan argo.
Terus berbenah
Sulut memang terus berbenah untuk mempersiapkan diri sebagai tujuan wisata dunia pada 2010. Infrastruktur dipersiapkan mulai dari jalan, hotel, transportasi, kompleks perbelanjaan hingga menggelar festival budaya. Modal Sulut untuk menjadi tujuan wisata dunia sangat lengkap mulai dari seni budaya, keindahan alam darat dan bahari, hingga koleksi kuliner. Masyarakatnya juga sangat terbuka terhadap pendatang.
Namun, kunjungan wisatawan mancanegara ke daerah nyiur melambai itu tidak bertambah secara signifikan. Angka kunjungan wisman dari tahun ke tahun di bawah 50.000 orang, bandingkan dengan Pulau Bali yang kunjungan wisman mencapai 1,4 juta orang per tahun. Adakah yang salah dalam pengelolaan pariwisata?
”Tidak, promosi saja yang kurang. Infrastruktur sesungguhnya oke demikian juga dengan sumber daya manusia,” kata Edwin Silangen, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Sulut.
Gubernur Sulawesi Utara SH Sarundajang mengatakan, pariwisata membutuhkan pemicu akselerasi pariwisata. Itu karena sektor ini mampu sekaligus menggerakkan banyak bidang dan sektor lain. Salah satunya adalah Festival Bunga Tomohon kreasi Jefferson Rumajar, Wali Kota Tomohon.
Badan Pusat Statistik Sulut mencatat hunian hotel berbintang di Kota Manado dan Tomohon naik hingga 57 persen pada semester pertama tahun 2008 dan kedatangan orang di Bandara Sam Ratulangi mencapai 30 persen atau sekitar 1 juta orang.
Sulut kian agresif membidik peluang-peluang wisata untuk menyedot turis dunia yang saat ini jumlahnya sekitar 800 juta orang. Sekitar 5,3 juta di antara mereka berkunjung ke Indonesia dan sekitar 17 juta ke Malaysia. Data Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menunjukkan, jumlah turis dunia tahun 2010 akan naik jadi 1 miliar orang.
Di ajang Meetings Incentives Conventions, Congresses Conferences and Exhibitions (MICE) Sulut akan melaksanakan World Ocean Conference (WOC) pada 2009. Konferensi negara kelautan dunia ini diperkirakan menghadirkan 10.000 orang asing. Pada tahun yang sama, TNI Angkatan Laut akan menggelar parade kapal perang internasional di Kota Bitung.
Potensi pariwisata Sulut tidak diragukan lagi. Pamor Bunaken telah mendunia. Pangeran Bernhard dari Belanda yang menyelam pertama kali di Bunaken pada 1978 menilainya sebagai taman laut terindah di dunia.
Pada tahun 1995 putrinya, Ratu Beatrix, pun terkesan dan ingin kembali lagi suatu saat.... (ZAL/ANG)
Sumber: cetak.kompas.com (13 Juli 2008)
No comments:
Post a Comment