Gianyar, Bali - Sejatinya ke mana perginya jiwa-jiwa orang meninggal? Bukankah sebenarnya jiwa-jiwa itu tidak pergi, tapi justru pulang ke Sang Pemilik Kehidupan? Maka, berbahagialah mereka yang mengantar kepulangan itu dengan penuh syukur dan sukacita.
Mengikuti, menyaksikan, dan merasakan upacara pelebon/ngaben (kremasi) keluarga kerajaan di Puri Agung Ubud, Gianyar, Bali, sepekan terakhir seperti memandang diri sendiri di hadapan cermin.
Dalam tradisi masyarakat Bali, tubuh seseorang hanyalah wadah bagi jiwanya. Saat seseorang meninggal dipercayai bahwa atman atau jiwa tetap di sekitar tubuh. Tubuh terdiri dari unsur api, udara, air, bumi, dan ruang hampa harus kembali ke alam semesta, menyatu dengan Sang Pencipta. Inilah tujuan ngaben.
Kematian sejatinya bukan akhir, tetapi awal. Lebih penting lagi cara hidup seseorang dan bagaimana harapan sangat kuat keluarga almarhum setelah kematian datang.
Itulah yang jelas tertangkap dari cara sanak keluarga, rekan, dan warga melaksanakan ngaben atau pelebon. Nyaris tidak ada tangis, tapi wajah-wajah bersemangat, penuh harapan bagi yang telah meninggal, maupun yang ditinggalkan.
Kremasi tiga anggota keluarga Puri Agung Ubud ini tergolong peristiwa besar, bahkan terbesar dalam tiga dasawarsa terakhir. Maka, ketika ngaben mencapai puncaknya, Selasa (15/7), ruas jalan sepanjang 2 kilometer di Jalan Raya Ubud selebar 5 meter dan jadi jalur arak-arakan jenazah menuju Setra (pemakaman) Dalam Puri Agung Ubud dari Kompleks Puri Agung Ubud disesaki manusia, warga setempat, warga daerah lain Bali, hingga turis dari mancanegara. Panitia menaksir jumlah hadirin mencapai 300.000 orang.
Tiga orang yang dikremasi itu tergolong dituakan dan terpandang. Mereka adalah Tjokorda Gde Agung Suyasa, kepala keluarga Puri Agung Ubud dan ketua komunitas tradisional di Ubud sejak 1976; Tjokorda Gede Raka, seorang pensiunan di Kepolisian Kota Besar Denpasar; dan Gung Niang Raka. Turut pula dikremasi 68 jenazah dari empat banjar desa adat sekitar Puri Agung Ubud: Banjar Sambahan, Ubud Tengah, Ubud Kelod Peken, dan Ubud Kaja.
Tjokorda Agung Suyasa lahir 14 Juli 1941, anak ketiga dari Tjokorda Gde Ngurah dari permaisuri pertama Tjokorda Istri Muter. Suyasa meninggal 28 Maret 2008, sedangkan Tjokorda Gde Raka dari Puri Anyar Ubud meninggal sepekan sebelumnya. Desak Raka adalah istri pertama dari almarhum Tjokorda Raka dari Puri Kaleran Belingsung Ubud. Desak Raka lahir 1917 dan meninggal 23 Desember 2007. Jenazah Desak Raka sebenarnya pernah dikremasi pada pelebon sederhana, beberapa saat setelah meninggalnya. Namun, kini memperoleh kremasi lengkap.
Juru bicara Puri Ubud, Tjokorda Raka Kerthyasa, menjelaskan ngaben kali ini adalah pertama terbesar sejak 1979 saat ngaben seniman masyhur Ubud yang juga keturunan puri, Cokorda Gde Agung Sukawati. Mengingat fungsi puri/kerajaan dianggap penting dari sisi penegak moral dan ritual keagamaan, dukungan masyarakat di Bali pun sedemikian besar. Setidaknya 68 desa adat se-Bali secara gotong royong membantu upacara ini. ”Pelebon bukanlah suatu acara duka, tetapi diyakini sebagai cara menghibur jiwa-jiwa yang telah meninggal dan menjaga agar jiwa mereka tidak terganggu oleh tangisan yang ditinggal. Di sisi lain, pelebon merupakan bentuk gotong royong seluruh anggota keluarga dan masyarakat untuk mengurangi beban biaya,” kata Kerthyasa, Jumat lalu.
Menurut Kerthyasa, berapa pun besarnya biaya upacara keagamaan—biaya fisik dalam seluruh ritual kremasi di Puri Agung Ubud kali ini sekitar Rp 3 miliar—upacara itu tidak dapat berhenti di tengah jalan. ”Dalam ngaben niri (sendiri) biaya bisa di atas Rp 50 juta dari kantong pribadi, tapi dalam ngaben massal biaya bisa ditekan jadi Rp 5 juta,” kata Ni Nyoman Rented, menantu almarhumah Ni Wayan Genjong, salah satu petani penggarap yang jenazahnya ikut dalam ngaben massal ini.
Ngaben massal bersama tiga anggota Puri Agung Ubud juga terasa lebih istimewa bagi keluarga peserta. Harapan melihat kepulangan jiwa sanak keluarga ke Hyang Widhi Wasa terasa kian besar karena ngaben massal digelar bersama keluarga kerajaan.
Sekitar pukul 12.30, Selasa kemarin, arak-arakan pun dimulai. Seluruh jenazah ditempatkan di sebuah bade (menara untuk jenazah dan yang tertinggi kali ini 28,5 meter dengan berat 11 ton) diarak ribuan warga Bali. Prosesi juga diikuti patung lembu penuh hiasan megah dan disucikan masyarakat Hindu serta patung Nagabanda. Patung naga hanya muncul pada kremasi keluarga puri yang dituakan.
Saat dikremasi, jenazah ditempatkan di atas menara sebagai simbol antara bumi dan langit. Sebuah bhoma (topeng bermuka seram) ditempatkan di belakang menara untuk menakuti roh jahat dan topeng garuda di depan menara. Dengan beban sangat berat, plus kondisi jalan sempit dan penuh sesak manusia, sungguh tidak mudah mengusung bade-bade serta patung-patung.
Begitu sampai di pemakaman, seluruh pengunjung bertepuk tangan, sedangkan para pengusung bersorak. Prosesi dilanjutkan ke area pemakaman (setra), diiringi gamelan bleganjur. Jenazah yang sudah dibalut kain kafan bersama aneka sesaji dimasukkan ke dalam perut patung lembu. Tepat pukul 18.30, api dinyalakan dan dalam sekejap melalap habis patung lembu, nagabanda, serta jenazah-jenazah.
Pada akhir acara, pedanda membunyikan genta untuk menolong jiwa mencapai surga. Abu jenazah akan dilarung ke laut, simbol pengembalian ke alam semesta.
Beberapa hari kemudian, tahap akhir upacara, yaitu nyekah; penyucian jiwa, yang akan ditempatkan sebagai leluhur di masing-masing merajan (tempat suci di kompleks pura keluarga). (Benny Dwi Koestanto)
Sumber: cetak.kompas.com (16 Juli 2008)
No comments:
Post a Comment