Monday, February 14, 2011

Pecel Madiun yang Tak Ada Matinya...

Jakarta Selatan - Makanan tradisional pecel atau pecel Madiun amat akrab dengan masyarakat dari wilayah Jawa bagian timur dan tengah. Biasanya, mereka yang keluar dari kampungnya ingin merasakan kembali nikmatnya pecel. Di Jakarta bertebaran warung pecel. Ke sana mereka mengobati rasa kangen akan sensasi kuliner itu sekaligus bernostalgia.

Begitu menyebut pecel Madiun langsung terbayang sepincuk nasi hangat nan pulen, di atasnya ditutup aneka sayur rebus, petai cina, dan irisan ketimun disiram sambel kacang.

Di atas sambel kacang masih ada kering tempe, rempeyek, atau kerupuk puli, yakni kerupuk yang dibuat dari beras. Jika suka, ada tambahan lauk yang bisa dipilih, misalnya ayam goreng, empal daging, telur goreng, lidah sapi, tempe, dan tahu.

Pincuk adalah tempat makan dari daun pisang yang dibentuk khas. Bagi banyak warga Madiun, Malang, Kediri, dan sekitarnya (semua di Jawa Timur), makan nasi pecel di atas pincuk memunculkan sensasi tersendiri. Aroma khas daun pisang yang layu terkena panas nasi putih menambah sedap masakan yang siap disantap itu.

Kini nasi pecel tak hanya menjadi makanan favorit orang Jawa. Sejak warung atau rumah makan penyedia pecel banyak tersebar di Jakarta dan sekitarnya, pecel menjadi favorit warga Ibu Kota.

Coba lihat konsumen warung Pecel Pincuk Kalibata di seberang Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, atau rumah makan Pecel Madiun di Rawa Buntu Serpong, Kabupaten Tangerang. Ratusan orang dari berbagai asal daerah dengan seragam kantoran memenuhi tempat duduk di sana.

”Ini makanan kesukaan bos. Hampir tiap hari minta dibelikan nasi pecel untuk makan siang. Saya sendiri juga suka. Rasanya enak dan banyak sayurnya,” kata Syafril asal Medan. Seusai shalat Jumat (18/7), ia datang ke Warung Pecel Kalibata untuk memesan nasi pecel untuk bos dan rekannya di kantornya, kawasan Kalibata.

Memang, campuran kacang tumbuk dengan bumbu antara lain bawang putih, gula aren, cabe merah, garam, daun jeruk purut, dan terasi itu jika disiramkan ke atas sayur rebusan terasa nikmat di lidah.

Umumnya, penjual pecel paham benar bahwa menyediakan jenis sayur kenikir atau kecipir, beluntas, daun pepaya, kembang turi ditambah lalapan petai cina dan irisan timun seakan menjadi semacam kewajiban dalam daftar pelengkap nasi pecel.

Ajang nostalgia
Menyantap nasi pecel untuk sebagian konsumennya bukanlah sekadar menikmati rasa makanannya, tetapi juga suasana yang mewarnai tempat mereka makan. Tidak heran jika konsumen lanjut usia asal Jawa sering memenuhi kursi di Rumah Makan Hadir di Jalan Gondangdia Lama Nomor 34, Jakarta Pusat, yang mengkhususkan pada menu pecel Madiun. Sembari makan mereka mengobrol dengan bahasa Jawa.

Suasana itu pula yang ingin dirasakan Albertus asal Malang, yang kemarin siang makan nasi pecel di Kalibata. ”Ada yang kurang kalau makan pecel tak ngobrol dengan bahasa Jawa,” kata pemuda yang berkantor di Jalan Sudirman, tetapi selalu berupaya tiap minggu makan nasi pecel.
Barangkali untuk menyesuaikan diri dengan keinginan konsumen, warung atau rumah makan nasi pecel di Jakarta umumnya dibuat dengan nuansa seperti di tempat asal.

Rumah Makan Hadir milik Irna Hanny Nastuti (70), yang berdiri awal tahun 2000, tampilan luar dan dalam sangat bersahaja, namun selalu penuh pelanggan setianya. Secara keseluruhan, nuansa rumahan di rumah makan ini terasa sangat kental. Ubin lantai tetap dibiarkan seperti aslinya.

Awalnya rumah itu didiami Irna, suaminya, Hadi Suwito, dan kelima anaknya. Seiring kelima anaknya telah berkeluarga, sang suami mengusulkan supaya di bagian garasi rumah dijadikan rumah makan kecil yang menjual pecel Madiun dan rawon.

Sementara Warung Pecel Pincuk Kalibata, milik pasangan Luthfi Yuliani (30)-Sandyarta Dharmayana asal Malang, yang semula hanya warung tenda kini jadi warung permanen. Tampilan di dalamnya seperti warung pecel umumnya di Madiun yang memakai lincak (tempat duduk dari bahan bambu) dengan tempat makanan tradisional.

Adapun Warung Pecel Madiun di Serpong, meski dari luar tampak seperti rumah makan modern dilengkapi mainan anak dan taman, ruang makan semacam pendapa dan lesehan tetap berciri khas Jawa.

Para pengusaha itu awalnya membuka usaha menjual pecel dalam skala kecil, tetapi dalam tempo tak terlalu lama, usaha mereka makin besar. Dan pecel mulai akrab di lidah warga Ibu Kota yang bukan asli orang Jawa bagian tengah dan timur.

Makin besarnya penjualan, otomatis menaikkan pendapatan. Pengelola warung pecel Kalibata kini memiliki lebih dari enam tenaga kerja, sedangkan jumlah meja di Rumah Makan Hadir bertambah dari tiga menjadi 15 buah. (Soelastri Soekirno dan Sarie Febriane)

Sumber: www.kompas.com (19 Juli 2009)

No comments:

Post a Comment

www.paid-to-promote.net

Get paid To Promote at any Location